Jumat, 11 Juni 2010

(Perkembangan Diri dan Identitas) dan Perkembangan Gender


PSIKOLOGI ANAK (Perkembangan Diri dan Identitas) dan Perkembangan Gender


Pengertian Identitas Diri dan Pemahaman Diri

Identitas diri adalah pengorganisasian atau pengaturan dorongan-dorongan, kemampuan-kemampuan dan keyakinan-keyakinan ke dalam citra diri secara konsisten yang meliputi kemampuan memilih dan mengambil keputusan baik menyangkut pekerjaan, orientasi seksual dan filsafat hidup (Marcia dalam Yusuf, 2000).

Pemahaman diri (self understanding) merupakan representasi kognitif anak mengenai diri (self), dan merupakan substansi dan isi dari konsepsi diri anak.

Individu yang memiliki identitas diri diharapkan memiliki karakteristik sebagai berikut (Dariyo, 2004):

1. Konsep Diri

Gambaran diri tentang aspek fisiologis maupun psikologis yang berpengaruh pada perilaku individu dalam penyesuaian diri dengan orang lain.

2. Evaluasi diri

Penerimaan terhadap kekurangan yang ada pada diri individu, berarti ia memiliki kemampuan untuk menilai dan mengevaluasi potensi dirinya sendiri.

3. Harga Diri

Sejauh mana individu dapat menghargai diri sebagai seorang pribadi yang memiliki kemandirian, kemauan, kehendak, dan kebebasan dalam menentukan perilaku dalam hidupnya.

4. Efikasi Diri

Kemampuan untuk menyadari, menerima dan mempertanggungjawabkan semua potensi, ketrampilan atau keahlian secara tepat.

5. Kepercayaan Diri

Keyakinan terhadap diri sendiri bahwa ia memiliki kemampuan dan kelemahan, dan dengan kemampuan tersebut ia merasa optimis dan yakin akan mampu menghadapi masalahnya dengan baik.

6. Tanggung Jawab

Rasa tanggung jawab terhadap apa yang menjadi hak dan kewajibannya.

7. Komitmen

Tekad atau dorongan internal yang kuat untuk melaksanakan suatu janji, ketepatan hati yang telah disepakati sebelumnya, sampai benar-benar selesai dengan baik.

8. Ketekunan

Adanya etos kerja yang pantang menyerah sebelum segala sesuatunya selesai. Ketekunan tidak mengenal putus asa, dalam arti bahwa apa yang dilakukannya selalu berorientasi ke masa depan.

9. Kemandirian

Sifat yang tidak bergantung pada orang lain. Individu akan berusaha menyelesaikan masalah dalam hidupnya sendiri. Semua karakteritik tersebut tidak dapat dipisah-pisah antara satu dengan yang lainnya.

Perubahan dalam Perkembangan

Masa Bayi. Penelitian pada masa bayi sangat sulit terutama karena bayi tidak bisa menceritakan bagaimana mereka melihat diri sendiri. Bayi tidak bisa mengekspresikan secara verbal pandangan mereka mengenai diri mereka. Mereka juga tidak akan memahami instruksi yang kompleks dari peneliti.

Masa Kanak-Kanak Awal. Pada tahap ini anak sudah dapat berkomunikasi secara verbal. Berikut ini adalah 5 karakteristik utama pemahaman diri pada anak-anak:

1. Kebingungan mengenai diri, pikiran, dan tubuh. Kebanyakan anak menganggap diri sama anggota tubuh, biasanya adalah kepala. Bagi mereka, diri dapat dideskripsikan sama seperti dimensi material lainnya seperti ukuran, panjang, atau warna.

2. Deskripsi konkret. Anak prasekolah berpikir dan mendeskripsikan diri mereka dengan istilah yang konkret. Seorang anak akan berkata ”hore,aku bisa berhitung”, ”aku tinggal di rumah yang besar sekali”. (Harter dalam Santrock, 2007).

3. Deskripsi fisik. Anak kecil biasa membedakan diri mereka dengan orang lain melalui atribut fisik dan material. Seperti ”aku berbeda dengan temanku karena aku lebih tinggi dari dia”.

4. Deskripsi aktif. Dimensi aktif adalah komponen sentral dari diri pada masa kanak-kanak awal. (Keller dkk dalam Santrock, 2007). Mereka biasa mendeskripsikan diri mereka dengan istilah yang berhubungan dengan aktivitas seperti bermain.

5. Ketidakmampuan untuk mengenali lawan atribut yang mungkin ada. Evaluasi diri anak sering kali juga mencerminkan ketidakmampuan diri mereka untuk menyadari bahwamereka memiliki atribut yang berlawanan seperti baik dan buruk, ramah atau jahat. (Harter dalam Santrock, 2007).

Masa Kanak-Kanak Madya dan Akhir. Evaluasi diri anak menjadi lebih kompleks selama masa kanak-kanak madya dan akhir. 5 perubahan penting yang menjadi karakteristik bertambahnya kompleksitas ini adalah:

1. Karakteristik Internal. Pada masa kanak-kanak madya dan akhir, anak mulai beralih menggunakan karakteristik internal dalam mendefinisikan dari mereka. Mereka mulai menyadari adanya perbedaan keadaan di dalam dan di luar, dan mereka juga akan lebih mungkin dibandingkan anak yang lebih kecil memasukkan keadaan diri yang subyektif ke dalam definisi mereka tentang diri. Seperti contoh anak berumur 7 tahun akan mengatakan ”aku cukup pintar dari mereka” dan anak yang berumur 10 tahun akan berkata ”aku tidak akan merasa takut dan khawatir lagi, dulu aku sering merasa cemas”.

2. Deskripsi sosial. Pada masa ini anak mulai memasukkan aspek sosial, seperti kelompok sosial tertentu, dalam gambaran diri mereka (Harter dkk dalam Santrock, 2007). Contohnya seperti, anak lebih suka mendeskripsikan diri mereka menjadi anggota Pramuka.

3. Perbandingan sosial. Pada karakteristik ini mencakup peningkatan referensi perbandingan sosial. Pada titik perkembangan ini, anak akan lebih mungkin membedakan diri mereka dari orang lain dengan menggunakan istilah yang komparatif dan tidak absolut. Contohnya, seorang anak mendeskripsikan apa yang bisa mereka lakukan dibandingkan anak lain.

4. Real self dan ideal self. Anak mulai dapat membedakan antar real self dan ideal self mereka yang mencakup kemampuan untuk membedakan kompetensi mereka yang sebenarnya dengan apa yang ingin mereka capai dan mereka anggap penting.

5. Realistik. Evaluasi diri anak pada tahap ini menjadi lebih realistis. Hal ini mungkin terjadi karena peningkatan perbandingan sosial dan pengambilan persepsi.

Masa Remaja. Kecenderungan untuk membadingkan diri sendiri dengan orang lain akan berlanjut sampai masa remaja. Dibawah ini merupakan perkembangan pemahaman diri yang berbeda dari anak-anak sebelumnya.

1. Abstrak dan idealistik. Remaja akan mendeskripsikan diri mereka yang mungkin lebh mengguanakan label abstrak dan idealistik dibandingkan dengan anak-anak. Seperti ”aku adalah orang sangat sensitif, dan peduli terhadap perasaan orang lain”.

2. Kesadaran diri. Remaja akan lebih mungkin jika dibandingkan dengan anak-anak untuk menjadi sadar dan disibukkan dengan pemahaman diri. Kesadaran diri (termasuk aspek diri yang tersembunyi dari pandangan orang lain seperti, pikiran, emosi, dan sikap meningkat mulai usia 13-18 tahun.

3. Diri yang berfluktuasi. Pemahaman diri remaja berfluktuasi dalam setiap situasi dan setiap waktu. Sebagai contoh, remaja mungkin tidak tahu mengapa bisa merasakan perasaan yang senang dan ceria kemudia merasa sedih di waktu berikutnya.

4. Real self dan ideal self. Peningkatan kemampuan remaja untuk mengkostruk ideal self dibanding diri yang nyata dapat menjadi hal yang membingungkan dan menimbulkan penderitaan pada remaja. Dalam satu teori, aspek yang penting dari ideal self atau diri diimajinasikan adalah possible self (seperti apa seseorang di masa depan nanti, ingin menjadi apa kelak, dan juga yang tidak diinginkan).

5. Integrasi diri. Pada masa remaja akhir, pemahaman diri menjadi lebih terintegrasi, dengan berbagai macam kepingan diri mulai disusun secara sistematis. Remaja yang lebih dewasa akan lebih mungkin diri mereka berusaha untuk menkonstruk teori umum mengenai diri mereka, dan pada akhirnya mencapai identitas yang terintegrasi.

GENDER

Pengertian Gender

Gender adalah dimensi-dimensi psikologis dan sosiokultural yang dimiliki karena seseorang adalah laki-laki atau perempuan.

Identitas gender adalah perasaan menjadi laki-laki atau perempuan, yang biasanya dicapai ketika anak berusia 3 tahun.

Peran gender ialah sebuah set ekspektasi yang menggambarkan bagaimana pria atau wanita seharusnya berfikir, bertindak, atau merasa.

Hal-Hal yang Mempengaruhi Perkembangan Gender

Pengaruh Biologis

Terdapat 2 macam kromosom dalam tubuh manusia yaitu kromosom X dan Y. Kedua kromosom inilah yang mengatur jenis kelamin pada manusia. Manusia normal memiliki 46 kromosom yang tersusun berpasangan. Pasangan yang ke-23 dapat terdiri dari 2 kromosom X yang menghasilkan jenis kelamin perempuan atau bisa juga terdiri dari kromosom X dan Y yang akan menghasilkan jenis kelamin laki-laki.

Pengaruh Sosial

Banyak ilmuwan yang menyatakan bahwa perbedaan psikologis antar jenis kelamin bukan disebabkan oleh disposisi evolusi biologis, tetapi adanya perbedaan peran dan posisi sosial antara laki-laki dan perempuan. Peran laki-laki dalam sosial lebih dominan daripada perempuan. Perempuan lebih banyak melakukan tugas domestik dibanding laki-laki, dan menghabiskan waktu lebih sedikit untuk pekerjaan yang digaji. Meskipun kebanyakan perempuan terlibat sebagai pekerja, mereka menerima gaji lebih rendah daripada laki-laki dan hanya sedikit yang mencapai level atas dalam organisasi. Jadi dari sudut pandang pengaruh sosial, adanya hierarki gender dan pembagian jenis kelamin pekerja adalah penyebab penting terjadinya perilaku yang berbeda antar jenis kelamin. Perempuan akan mengambil peran dengan status dan kekuatan yang lebih rendah di masyarakat, mereka akan lebih mudah bekerja sama dan juga tidak sedominan laki-laki. Terdapat 2 teori penting membahas bagaimana anak memperoleh perilaku dan sikap maskulin maupun feminin dari orang tua. Teori pertama adalah teori gender psikoanalisis, yang tumbuh dari pandangan Freud yang menyatakan bahwa anak usia prasekolah mengembangkan ketertarikan seksual terhadap orang tua yang berjenis kelamin berbeda darinya. Pada usia 5-6 tahun, anak mengehentikan ketertarikan ini karena timbul kecemasan dalam dirinya. Kemudia anak akan mengidentifikasi diri dengan orang tua yang berjenis kelamin sama dengan dirinya dan secara tidak sadar mengadopsi karakteristik orang tua tersebut. Teori yang kedua adalah teori gender kognitif-sosial yang menekankan bahwa perkembangan gender anak-anak terjadi melalui observasi dan imitasi dari perilaku gender, dan melalui proses reward dan punishment yan dialami oleh anak untuk perilaku yang sesuai atau tidak sesuai dengan gender tertentu.

Pengaruh Pola Asuh

Baik ayah maupun ibu memiliki peran psikologis penting dalam perkembangan gender anak (Parke dalam Santrock, 2007). Ibu biasanya memiliki tanggung jawab untuk mengasuh dan merawat secara fisik, sedangakan ayah bertanggung jawab dalam interaksi dalam bermain dan juga meyakinkan bahwa anak-anak mematuhi norma dan budaya yang berlaku. Terlepas dari tinggi rendahnya pengaruh perilaku ayah terhadap anak, seorang ayah lebih terlibat dalam proses sosialisasi anak laki-lakinya dibanding anak perempuannya. Ayah memiliki peran yang cukup penting dalam perkembangan peran gender, karena mereka lebih mungkin untuk memperlakukan anak laki-laki dan perempuannya dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan ibu sehingga berkontribusi lebih terhadap pembedaan antara gender (Huston dalam Santrock, 2007).

Pengaruh Teman Sebaya

Teman sebaya juga berperan dalam proses sosial dengan merespons atau menjadi model perilaku maskulin atau feminin (Leman dkk dalam Santrock, 2007). Anak yang bermain dengan permainan yang dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya cenderung akan diberi reward oleh teman sebayanya. Mereka yang melakukan jenis permainan yang berlawanan dengan jenis kelaminnya cenderung untuk dikritik dan akan dibiarkan bermain sendirian. Banyak peneliti yang menemukan bahwa anak lelaki saling mengajari perilaku maskulin yang mereka anggap perlu dan menegakkannya secara tegas (Luria&Herzog dalam Santrock, 2007). Anak perempuan juga saling mengajarkan budaya perempuan dan biasanya saling berkumpul dengan sesamanya. Anak perempuan tertentu yang ”tomboi” yang bisa mengikuti aktivitas para lelaki tanpa kehilangan statusnya di kelompok anak perempuan, tetapi hal yang sebaliknya tidak berlaku untuk anak laki-laki. Tuntutan teman sebaya untuk konformitas peran gender menjadi sangat intens pada masa remaja. Meskipun terjadi pergaulan yang bercampur pada masa gender awal, dalam kelompok formal dan dalam berpacaran, ada tekanan yang sangat kuat bagi remaja laki-laki untuk menjadi laki-laki yang sebaik-baiknya dan untuk remaja perempuan menjadi perempuan yang sebaik-baiknya.

Pengaruh Sekolah dan Guru

Ada perhatian khusus bahwa sekolah dan guru memiliki bias terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Berikut ini beberapa beberapa faktor yang dipertimbangkan (Cezolt&Hull dalam Santrock, 2007):

1. Kepatuhan, mengikuti aturan, rapi, dan teratur biasanya sangat dihargai dan berusaha ditegakkan di dalam kelas. Perilaku ini biasanya lebih mengkarakteristikkan anak perempuan daripada laki-laki.

2. Mayoritas guru adalah perempuan, terutama di sekolah dasar. Akan lebih sulit bagi anak laki-laki daripada perempuan untuk melakukan identifikasi terhadap guru mereka dan melakukan modeling terhadap perilaku guru mereka.

3. Anak laki-laki mungkin mengalami kesulitan belajar daripada anak perempuan.

4. Anak laki-laki akan lebih mungkin untuk dikritik daripada anak perempuan.

5. Staf disekolah cenderung untuk mengabaikan fakta bahwa kebanyakan anak laki-laki memiliki masalah akademik, terutama bidang bahasa.

6. Staf di sekolah cenderung melakukan stereotype bahwa perilaku anak laki-laki adalah perilaku bermasalah.

Dari pemaparan dapat dilihat adanya bias, baik terhadap anak laki-laki maupun perempuan di sekolah. Kebanyakan staf di sekolah tidak menyadari sikap mereka yang memiliki bias gender. Sikap ini sangat tertanam dan didukung kebudayaan.

Gender dan Media

Pesan yang dibawa oleh media mengenai apa yang pantas dan apa yang tidak pantas untuk laki-laki dan perempuan juga memberikan pengaruh yang penting bagi perkembangan gender (Calvert dkk dalam Santrock, 2007). Seperti halnya tayangan atau program-program televisi yang secara ekstrim dalam menggambarkan dua jenis kelamin. Dalam sebuah penelitian remaja perempuan digambarkan hanya memperhatikan soal teman kencan, belanja, dan penampilan mereka (Campbell dalam Santrock, 2007). Mereka jarang sekali digambarkan memiliki ketertarikan terhadap sekolah atau rencana karir. Gadis yang menarik sering kali digambarkan sebagi seorang yang “otaknya kosong” dan gadis yang pintar tidak menarik. Bentuk lain dari program dengan target spesifik pemirsa remaja yang memiliki stereotype yang sangat tinggi adalah video musik rock. Apa yang remaja lihat di video musik rock adalah stereotype yang condong pada remaja laki-laki. Dalam video musik, perempuan memiliki kemungkinan dua kali lebih besar dibanding acara prime time lainnya untuk ditampilkan dengan dandanan yang provokatif, dan akting yang agresif sering kali dilakukan oleh perempuan.

Pengaruh Kognitif

Observasi, imitasi, reward, dan punishment adalah mekanisme bgaiman gender berkembang dalam teori kognitif sosial. Interaksi antara anak dan lingkungan sosial adalah kinci utama perkembangan gender dalam pandangan ini. Dua teori kognitif, teori perkembangan kognitif dan teori skema gender menekankan bahwa individu secara aktif mengkostruk dunia gender mereka.

1. Teori perkembangan kognitif gender, menyatakan bahwa pembagian gender anak terjadi setelah anak berpikir bahwa dirinya laki-laki atau perempuan. Setelah mereka secara konsisten menyadari bahwa dirinya laki-laki atau perempuan, anak memilih aktivitas, obyek, dan sikap yang konsisten dengan label ini.

2. Teori skema gender, menyatakan bahwa pembagian gender muncul ketikaanak secara bertahap mengembangkan skema gender tentang apa yang secara gender sesuai dan tidak sesuai dalam kebudayaan mereka. Skema adalah sebuah struktur kognitif, sebuah jaringan dari asosiasi yang menuntun persepsi individu. Skema gender mengatur dunia dalam bentuk laki-laki dan perempuan. Anak secara internal termotivasi untuk mempersepsikan dunia dan bertindak sesuai dengan skema mereka sedang berkembang.

Sumber: Santrock, J.W. 2007. Perkembangan Anak Jilid Dua. Erlangga. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar